Senin, 10 Mei 2010

SRI MULYANI, EKONOM INDONESIA



1. SRI, SRI MULYANI DAN SRIKANDI

Ign Joko Dwiatmoko

Orang jawa menganalogikan Sri adalah lambang kemakmuran dan kesuburan. Dalam Mitologi para dewa(dongeng atau cerita turun temurun) Dewi Sri adalah perlambang kesuburan dan semangat untuk melestarikan lingkungan hidup. Nama Sri bagi orang jawa sangat umum. Ada Sri Wahyuni, Sri Katon, Sri Mulyani, Sri Rejeki dsb. Sri bisa dikatakan sangat populer. Sri bisa juga lambang kesederhanaan.

Begitu mendengar nama Sri orang juga bisa berasumsi nama kampung, nama yang terlalu sederhana untuk dibandingkan dengan nama-nama anak kota yang cenderung ke barat-baratan. Namun yang menjadi sorotan saat ini adalah nama Sri Mulyani. Namanya terlalu sederhana untuk orang yang punya prestasi mengkilap dalam pemerintahan.
Sri Mulyani datang sebagai sosok intelektual. Kecerdasan dan ketenangannya dalam menjawab pertanyaan sulit sangat mengagumkan. sebagai wanita yang punya keluarga dan harus membesarkan putra-putranya(naluri sebagai seorang ibu) tentu butuh waktu lebih.

Ibu Mulyani masih mampu membagi waktu sehingga anak-anaknya tetap masih punya kesempatan di sayang oleh seorang ibu meskipun kesibukan Menteri keuangan yang akan segera menyandang jabatan sebagai managing Director World Bank begitu menyita waktu.
Profil wajahnya tampak bahwa dia tetaplah wanita jawa sederhana, badannya cukup tinggi untuk ukuran jawa, terkesan bahwa dari kata-katanya yang keluar dari mulutnya sudah terkontrol. Bicaranya terukur dan tenang.

Kartini patut bangga dengan sosok Bu sri yang tampil sederhana ditengah persoalan pelik politik dan pemerintahan yang bisa dikatakan tidak sederhana atau pelik.

Srikandi tokoh wanita perkasa dalam cerita wayang kulit versi Indonesia juga seorang yang mumpuni sakti mandraguna. Sri Mulyani sebutlah sri kandi yang mengharumkan nama Indonesia, perkasa karena meskipun gempuran-gempuran lawan politiknya membobardir dirinya tapi bagi sebagian masyarakat dia tetaplah dipandang bersih.

Kompetensi dan pandangan tentang ekonomi begitu jernih sehingga masyarakat Indonesia masih butuh tokoh yang sebanding dengan Sri Mulyani.
Banyak sebetulnya yang setangguh sri Mulyani cuma belum terekspos ke publik. Tunggu Sri -Sri yang lain dari seluruh pelosok nusantara. Benahi perekonomiaan Indonesia, pasang kuda-kuda yang kuat untuk mengantiipasi gempuran-gempuran negara asing yang mengintervensi perekonomian Indonesia.

2. "SRI,KAPAN KOWE BALI?"

Sindhunata

Sri, kapan kowe bali. Kowe lunga ora pamit aku. Jarene neng pasar pamit tuku trasi. Nganti saiki kowe durung bali (Sri, kapan kau kembali/Kau pergi tanpa pamit kepadaku/Katamu kau pergi ke pasar hendak beli terasi/Ternyata sampai kini kau belum kembali).

Itulah bait pertama lagu ”Sri Minggat” ciptaan Sonny Josz. Lagu ini menceritakan seorang lelaki yang ditinggal minggat kekasihnya. Lelaki itu sedih dan meratap, mengapa Sri, kekasihnya, tega meninggalkannya. Ia tak tahu di mana Sri sekarang. Ia hanya bisa melampiaskan rindunya dengan menyanyi: Sri, kapan kau kembali?

”Sri Minggat”, lagu campur sari yang bernada dangdut itu, sangat populer di kampung-kampung dan desa-desa Jawa sekitar empat tahun lalu. Pernah, di suatu malam menjelang perayaan 17 Agustus, penulis ikut melebur bersama sekelompok sopir dan kenek angkutan kota, kuli, pemulung dan nelayan, yang menyanyikan lagu ”Sri Minggat” di tepi Pantai Kenjeran, Surabaya. Dengan tape recorder sederhana, lagu itu diputar berulang kali. Orang-orang kecil itu berjoget mengikutinya.

Di tengah keadaan demikian, ”Sri Minggat” tak lagi terasa sebagai lagu tentang seorang lelaki yang ditinggal kekasihnya. Di sana, ”Sri Minggat” serasa terdengar sebagai jeritan rakyat kecil yang tak pernah merasakan buah kemerdekaan. Maklum, lagu itu terdengar di tengah orang-orang sedang tirakatan menyambut hari kemerdekaan 17 Agustus.

Rakyat kecil itu seperti ditinggalkan oleh kemerdekaan dan, ketika mereka menyanyikan bait Sri kapan kowe bali, suara mereka seakan bertanya kapan kemerdekaan akan kembali.

Buat orang Jawa, Sri bukan sekadar nama wanita. Sri adalah kultur. Itulah yang termaktub dalam mitos Dewi Sri, dewi kesuburan, ibu petani Jawa.
Tak seperti dewi lain yang lahir dalam kemuliaan, Sri lahir dari kemiskinan dan kesedihan. Seekor naga dari dunia bawah tanah bernama dewa Anta menitikkan air mata. Air mata itu kemudian berubah menjadi telur-telur. Satu telur itu pecah dan darinya lahir putri jelita, Dewi Sri namanya. Ini semua adalah lambang bahwa Sri adalah anak yang dilahirkan dari keprihatinan dan kemiskinan bumi.

Dikotomi kultur-nonkultur
Dalam etnologi, perempuan sering dianggap sebagai ”unsur kultur”, yang berhadapan secara dikotomis dengan lelaki sebagai ”unsur nonkultur”. Manusia memang mempunyai kecenderungan untuk menjadi barbar dan antikultur. Bila demikian, Bumi yang dilambangkan sebagai perempuan jelita akan menjadi korbannya.

Dalam mitos Jawa, itulah yang terjadi ketika Batara Guru, raja dari segala dewa, hendak menyetubuhi Dewi Sri. Dewi Sri tak dapat menghindar dari paksaan itu. Dewi Sri kemudian mati, tetapi kematiannya memberikan kehidupan dan kesuburan bagi para petani. Karena itu, jika sawah dilanda kekeringan dan tanaman tak menghasilkan buah, petani Jawa meminta agar Dewi Sri datang menyuburkan.

Sekarang kesedihan karena kepergian Sri tiba-tiba muncul kembali ketika pada Rabu (5/5) kita dikejutkan oleh pengunduran diri Sri Mulyani. Tak perlu diulang kembali di sini segala puja-puji karena sederet prestasi Menteri Keuangan Indonesia ini. Tak perlu juga dituturkan kembali pro dan kontra atas keterkaitannya atau ketidakterkaitannya dengan kasus Bank Century. Yang jelas, banyak sekali dari kita yang merasa kehilangan karena kepergiannya.

Memang ada alasannya Sri Mulyani pergi: Ia menerima penunjukan dirinya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Akan tetapi, mengapa ia justru pergi saat kita amat membutuhkannya dan saat ia sendiri gerah karena kasus Bank Century yang memojokkannya? Inikah sebuah tanda zaman bagi kultur kita?

Sri Mulyani adalah pejabat negara yang dikenal tegas dalam melakukan reformasi birokrasi dan pemberesan bidang pajak dan pabean. Ia juga memperlihatkan komitmen mendalam untuk memberantas korupsi. Toh, akhirnya ia pergi.

Adakah peristiwa ini boleh ditangkap sebagai tanda krisis, yang dalam kebudayaan Jawa disebut dengan datangnya zaman Kalatidha?

Zaman kebaikan tumbang
Memang dalam Serat Kalatidha karya pujangga Ranggawarsita diramalkan akan datang zaman ketika segala kebaikan akan tumbang. Walau negara memiliki pejabat, pemerintah, dan punggawa yang luar biasa pandai dan bijaksana, segala maksud baik yang diinginkan tak bisa terwujud. Sebaliknya, negara akan terjerumus ke dalam gangguan yang tiada habisnya.

Ing zaman keneng musibat, wong ambeg jatmika kontit: di zaman yang penuh kebatilan, orang yang berbudi baik malah terpental. Itulah salah satu ramalan Serat Kalatidha. Tampak bahwa, jika zaman kacau itu datang, keadaan masyarakat tidak lagi afirmatif terhadap kebaikan dan orang-orang yang berbudi baik.

Itulah krisis zaman. Krisis inilah yang membuat orang-orang bijak tertendang keluar. Memang dalam keadaan seperti ini benak orang-orang bijak dilanda keraguan. Ia ingin tinggal di sini, di negerinya sendiri, tetapi sekaligus ia ingin sejauh-jauhnya pergi dari sini. Mungkin perasaan macam itulah yang melanda Sri Mulyani akhir-akhir ini.

Namun, marilah kita kembali pada lagu ”Sri Minggat” tadi. Lagu itu tidak berakhir dengan ratapan dan kerinduan si lelaki yang ditinggalkan oleh Sri. Lagu itu masih disusul oleh jawaban Sri, mengapa ia pergi: Mas, sepurane wae/Aku minggat, ora pamit kowe/Sepuluh tahun urip karo kowe/Ora bisa nyenengke atiku (Mas, maafkan aku/Aku minggat, tanpa pamit kamu/Sepuluh tahun hidup bersamamu/Tak bisa menyenangkan hatiku).

Sri Mulyani pergi. Adakah itu terjadi karena kita tidak bisa menyenangkan hatinya lagi: Sri, kapan kowe bali?

Sindhunata Wartawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Pengikut